PAMATELU BHATARA


Lontar Pamatelu Bhatara adalah satu dari sekian banyak lontar tattwa yang ada di Bali. Lontar ini berisi ajaran yang bersifat siwaistik. Ada kecenderungan lontar ini ditulis di Bali dengan menggunakan teks-teks tattwa lainnya yang lebih tua sebagai sumbernya, seperti umpamanya Wrhaspatitattwa. Dikatakan demikian karena apa yang diuraikan dalam Lontar Pamatelu Bhatara ada dalam Wrhaspatitattwa, tetapi uraiannya sangat singkat. Berdasarkan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa naskah tersebut adalah naskah “Cantungan” artinya naskah itu dibuat dengan mengambil dari sumbernya sesuai dengan kepentingan penulisnya.

Pamatelu Bhatara membedakan dua unsur yang ada yaitu unsur kesadaran dan unsur yang tidak memiliki kesadaran. Unsur kesadaran dibagi atas tiga bagian yaitu : Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa. Pembagian unsur kesadaran atas tiga bagian inilah yang disebut dengan Pamatelu Bhatara. Pembagian ini didasarkan atas seberapa besar kadar pengaruh Maya pada sifat-sifat Tuhan itu.

Paramasiwa tidak memiliki substansi sehingga sulit dibayangkan apalagi dilihat karena Ia adalah perwujudan sepi sunyi yang tertinggi (sunya taya paramartha) tanpa aktivitas.

Pada tingkatan Sadasiwa pengaruh Maya sudah mulai tampak. Karena tarikan pengaruh Maya, Tuhan mulai aktif mencipta semua yang ada baik yang bersifat nyata maupun yang bersifat tidak nyata.

Pada tingkatan Siwa pengaruh Maya sudah mengikat dengan kuat sekali. Ia memiliki banyak substansi, memenuhi makrokosmos, mikrokosmos dan semua makhluk dengan sama baiknya tanpa ada yang kurang dikenal dengan sebutan Atma atau Jiwatman.

Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa dianggap tiga adanya nama sesungguhnya Ia adalah satu yaitu unsur kesadaran atau roh. Hal ini diumpamakan sebagai cahaya matahari di timur sebelum terbit, matahari di atas sana dan bayangan matahari dalam buyung atau tempayan. Dengan demikian matahari seolah-olah tiga adanya yaitu sebelum terbit, setelah terbit dan dalam tempayan atau buyung.
Ketika badan ini diciptakan sebagai benih kehidupan pertama, pada saat itu pula sudah berisi unsur roh, karena Maya sama halusnya dengan sifat-sifat Tuhan. Karena itu, Maya selalu menyertai sifat-sifat Tuhan sebagai umpama buyung yang berisi air dengan matahari, bayangan burung kuntul, bayangan bintang beralih, asap lampu ketika padam dan sebagainya.

Kemudian roh dan badan terus berkembang mengikuti hukum utpeti (lahir), sthiti (mengada) dan Pralina (meniada) melalui tiga wujud kuasa Tuhan yaitu Brahma, Wisnu dan Rudra yang disebut Bhatara Purusa.

Pada saat terjadi penyatuan roh dan badan telah disertai dengan setia oleh Tri Guna, Sad Warga, Tri Mala, subha-asubha karma. Hal ini menyebabkan adanya tiga tingkatan atma yaitu rendah, menengah dan utama. Atma-atma yang ada pada tingkatan ini masih mengalami proses tumimbal lahir (reinkarnasi). Hal ini terjadi karena pada saat atma berpisah dari Pancamahabhuta akan masuk ke wilayah Pancatanmatra yang merupakan wilayah antara ada dan tidak ada. Atma yang ada di wilayah ini akan mudah berinkarnasi karena ditarik oleh subha-asubha karma pada saat penjelmaannya terdahulu (purwajanama). Sedangkan atma yang bebas dari ketiga tingkatan itu akan mencapai kelepasan (moksa) – menyatu dengan Bhatara Paramasiwa.

Ketidak berhasilan seseorang mencapai kelepasan (moksa) disebabkan oleh adanya perasaan-perasaan seperti tidak mau berpisah, rasa cinta dan sebagainya adalah merupakan noda-noda bagi atma. Perasaan-perasaan seperti itu hendaknya dibakar habis dengan api ilmu pengetahuan sehingga atma betul-betul barsih dari noda. Keadaan seperti itu adalah kunci untuk mencapai kelepasan.

Kelepasan (Moksa) adalah suatu keadaan lenyapnya semua selubung atma tanpa bekas, yang tinggal adalah yang utama, menyatu pada Paramasiwa. Kenapa demikian? Semua makhluk badan kasarnya berasal dari tidak ada, karena itu akan kembali pada tidak ada. Dalam teks, kalepasan itu diumpamakan tempayan, air, api, matahari dan laut. Badan diumpamakan sebagai tempayan. Air adalah Pradhana. Pikiran adalah api. Laut adalah kamoksan. Matahari adalah Paramasiwa. Sedangkan atma adalah bayangan matahari. Apabila tempayan dibakar dengan api kristal matahari, lama kelamaan tempayan akan terbakar habis dan airnyapun lenyap.

Demikian pula bayangan matahari itupun lenyap bersamaan dengan lenyapnya air dalam tempayan. Apabila abu tempayan itu dibuang ke laut, maka abu itupun akan tidak tampak tanpa bekas. Demikianlah bayangan itu lenyap bersamaan dengan lenyapnya tempayan bersamaan dengan airnya. Demikian pula atma akan lenyap bersama-sama dengan lenyapnya jasad. Itulah kelepasan, kamoksan.


Literatur :
Dunia, Drs. I Wayan. (2009). Kumpulan Ringkasan Lontar, Paramita Surabaya, hal. 16-19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar