Ganapati
Tattwa pada dasarnya berisi ajaran tentang kelepasan atau kamoksan. Kelepasan
atau kamoksan adalah ajaran kerohanian yang sangat tinggi dan bersifat sangat
abstrak. Ajaran ini disampaikan dengan menggunakan metode dialogis antara
Bhatara Siwa dengan putranya yaitu Bhatara Gana. Isi dari dialognya adalah
sebagai berikut :
Pada
awal mulanya dilukiskan tidak ada apa-apa. Tidak ada bumi, tidak ada langit,
tidak ada sunia, tidak ada ilmu pengetahuan dan sebagainya. Yang ada hanyalah
Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan Nirguna Sukha Acintya yaitu berkeadaan
maha bahagia yang tidak terpikirkan.
Kemudian
terjadilah evolusi dari Sanghyang Sukha Acintya, muncullah Sanghyang Jnana
Wisesa yaitu pengetahuan yang mulia. Ia berbadankan alam semesta, tetapi Ia
tidak ternoda, tidak terpengaruhi oleh apapun, tidak terjangkau karena Ia
berkeadaan Wisesa, maha kuasa. Ia disebut juga Sanghyang Jagat Karana,
karena memiliki ilmu pengetahuan yang maha kuasa dan sebagai penyebab dunia
atau alam semesta dengan segala isinya. Di sinilah Ia menampilkan dirinya dalam
aspek Saguna.
Kemudian
timbul keinginan beliau untuk menyaksikan keadaanNya sendiri yang berwujud
sekala-niskala, itulah sebabnya beliau menciptakan yang berwujud nyata (Paras)
dan yang berwujud tidak nyata (Para) dan Sunia sebagai bayangannya
sendiri. Sanghyang Jagat Karana bersemayam dalam sunia. Dari sanalah beliau
mengadakan ciptaan-ciptaanNya selanjutnya secara berturut-turut, seperti :
Ongkara Sudha, Suara, Windu Prana Suci yang di dalamnya terdapat Nada Prana
Jnana Sudha. Dari Widhu lahir Panca Dewata atau Panca Dewa Atma yaitu Brahma,
Wisnu, Rudra, Iswara dan Sanghyang Sadasiwa yang akan menjadi sumber ciptaan
selanjutnya.
Dari
lima Dewa tersebut, Dewa Brahma, Wisnu dan Siwalah yang dipandang sebagai badan
perwujudan Tuhan itu sendiri. Sedangkan Tuhan Yang Maha Esa (Siwa) yang tidak
terpikirkan dan Acintya dilukiskan berada dalam batin atau hati yang suci yang
disebut Guhyalaya. Untuk memuja beliau yang sangat gaib digunakanlah
empat belas aksara suci (Catur Dasaksara) yaitu : SANG, BANG, TANG, ANG, ING,
NANG, MANG, SING, WANG, YANG, ANG, UNG, MANG, ONG.
Ganapati
tattwa juga mengajarkan tentang hakikat alam semesta, diciptakan oleh Panca
Dewata dari unsur yang paling halus sampai dengan tingkat yang mempunyai wujud
nyata. Pertama-tama yang diciptakan adalah Pancatanmatra, yaitu :
- Dari Brahma lahir Gandha Tanmatra
- Dari Wisnu lahir Rasa Tanmatra
- Dari Rudra lahir Rupa Tanmatra
- Dari Iswara lahir Sparsa Tanmatra
- Dari Sadasiwa lahir Sabda Tanmatra
Kemudian
kelima Tanmatra itu berkembang ke dalam wujud yang sedikit lebih konkrit,
yaitu :
- Sabda Tanmatra menjadi Akasa berwarna bersih, bening
- Sparsa Tanmatra menjadi Bayu berwarna putih
- Rupa Tanmatra menjadi Teja,berwarna putih, merah, hitam.
- Rasa Tanmatra menjadi Apah, berwarna hitam
- Ganda tanmatra menjadi Pertiwi, berwarna kuning.
Pada
tahap perkembangan selanjutnya barulah sampai pada tingkat yang mempunyai
bentuk nyata yaitu :
- Dari Pertiwi lahir Bumi atau Tanah
- Dari Teja lahir Matahari, Bulan dan Bintang
- Dari Apah lahir Air
- Dari Bayu lahir Angin
- Dari Akasa lahir Suara
Setelah
Alam Semesta tercipta, kemudian tumbuhlah semua jenis tumbuhan dan semua jenis
binatang. Panca Dewata berperan sebagai penjaganya.
- Brahma bertempat di selatan menjaga Bumi
- Wisnu bertempat di utara menjaga Air
- Rudra bertempat di barat menjaga Matahari, Bulan dan Bintang
- Iswara bertempat di timur menjaga Udara
- Sadasiwa bertempat di tengah menjaga Ether
Demikianlah
proses penciptaan Bhuwana Agung (Alam Semesta) oleh Panca Dewata. Sedangkan
proses penciptaan Bhuwana Alit (Mikrokosmos) tidak jauh berbeda dengan
penciptaan Bhuwana Agung, sama-sama diciptakan oleh Panca Dewata.
- Brahma dan Wisnu menciptakan Tubuh dengan sarana Tanah dan Air
- Rudra menciptakan Mata dengan sarana Teja
- Iswara menciptakan Nafas dengan sarana Udara
- Sadasiwa menciptakan Suara dengan sarana Akasa
Setelah Tubuh,
Mata, Nafas dan Suara terbentuk barulah Atma menjelma dalam Kehidupan Manusia.
Dan Panca Dewata pun mulai menempati bagian-bagian tubuh untuk menjaganya dan
menumbuhkan kesadaran dan menjiwai bagian-bagian tubuh tersebut.
- Brahma menempati Muladara
- Wisnu menempati Nabhi
- Rudra menempati Hati
- Iswara menempati Leher
- Sadasiwa menempati Ujung Lidah
Dalam proses
perkembangan manusia selanjutnya, manusia berperan sebagai alat melalui
senggama. Sedangkan yang menjadi benih manusia disebut Rupa Suksma yang
berkeadaan abstark dan gaib. Rupa suksma ini menjadi Sukla
yang mempunyai warna seperti manik putih kekuning-kuningan.
Sedangkan Swanita
keluar dari Pradhana Tattwa. Kemudian keduanya bercampur dalam rahim si Ibu.
Disanalah ia berbentuk dan berkembang sehingga mencapai wujud yang sebenarnya.
Tahapan perkembangannya dilukiskan sebagai berikut :
- Umur satu bulan rupanya seperti buih
- Umur tiga bulan berwujud gumpalan darah
- Umur empat bulan menjadi Siwalingga, berlubang di bagian tengahnya berisi Ongkara dan Suksma Rupa
- Umur lima bulan menjadi Mayareka
- Umur enam bulan menjadi seperti Api
- Umur bulan ketujuh menjadi seperti ulat dalam kepompong yang disebut Gading
- Pada umur kedelapan menjadi anak gading yang disertai dengan nafas yang keluar dari Ongkara, juga tulang, kuku dan rambut
- Umur sembilan atau sepuluh bulan si jabang bayi dilahirkan
Yang
menghidupi dari janin sampai menjelang kematian berbeda-beda namnya sesuai
dengan tingkat perkembangannya namun sesungguhnya hakikatnya sama. Ketika masih
dalam rahim dijiwai oleh Suksma Rupa. Setelah sepuluh bulan
dijiwai oleh Sunia. Setelah lahir dijiwai oleh Nirwana. Setelah bisa
menyebut nama Ibu-Ayah dihidupi oleh Jiwa. Setelah dewasa dihidupi oleh Atma.
Setelah
kematian, terjadi pengembalian secara berjenjang, seperti : Atma kembali pada
Jiwa; Jiwa kembali pada Nirwana; Nirwana kembali pada Sunia; Sunia lenyap
menjadi suksma terus kembali pada Sanghyang Ngamutmenga; danSanghyang
Ngamutmenga kembali pada Nikala, yang merupakan tujuan tertinggi.
Tujuan dari
kelahiran adalah untuk kembali bersatunya atma kepada sumbernya, tidak
terlahirkan kembali. Untuk itu Ganapati tattwa memperkenalkan enam tahapan yoga
yang disebut Sadangga Yoga. Seorang yogi dalam melaksanakan pemujaan melalui
yoganya, Ia mewujudkan Swalingga (Atmalingga) dalam
dirinya, di samping Para Lingga yang ada di luar dirinya. Dan tubuhnya sendiri
dipandang sebagai Kahyangan Dewata, sebagai Sadhana untuk mencapai kalepasan.
Pada saat Atma
meninggalkan tubuh, jalan terbaik adalah melalui sela-sela pikiran, sehingga
Atma mencapai tujuan tertinggi.
Ada dua
kemungkinan yang akan dicapai dalam kalepasan yaitu :
- Mungkin akan mencapai Sadhubhranti, yang akan mengantarkan pada kamoksan, apabila petunjuk yang telah diberikan dilaksanakan dengan teguh. Di sini Atma tidak akan terlahirkan kembali.
- Mungkin akan mencapai Wyudhbranti, yang akan mengantarkan pada kelahiran kembali, bila semua petunjuk tidak dilaksanakan dengan teguh.
Untuk dapat
mencapai Sadhubhranti, maka seseorang harus : (1) memahami kalepasan
atau kamoksan itu melalui pemahaman Sanghyang Bhedajnana dengan baik; (2)
adanya keyakinan terhadap ajaran tersebut; (3) mampu mengendalikan indria; (4)
patuh dan bakti kepada guru; (5) teguh dan tekun melaksanakan ajaran Dharma;
(6) serta berlaku suci lahir batin sebagai landasan hidupnya. Itulah yang akan
mengantarkan seseorang pada pencapaian kalepasan atau kamoksan.
Literatur :
Dunia, Drs. I Wayan. (2009). Kumpulan Ringkasan Lontar, Paramita Surabaya, hal. 20-26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar