TATTWAJNANA


Sebagai kitab tattwa, Tattwajnana merupakan dasar semua kitab tattwa (bungkahing tattwa kabeh). Dengan memahami Tattwajnana dengan baik akan dapat diketahui betapa menderitanya menjelma dan jalan kembali ke asal mula, sehingga lepas dari proses kelahiran sebagai manusia (luputeng janma sangsara). Karena memang pada prinsipnya Tattwajnana mengajarkan tentang kelepasan atau kamoksan.

Tattwajnana dalam menjelaskan ajarannya dimulai dengan memaparkan dua unsur universal yang ada di alam raya ini yaitu Cetana dan Acetana.

Cetana adalah unsur kesadaran yang disebut dengan Siwatattwa yang memiliki sifat tutur prakasa. Sedangkan Acetana adalah unsur ketidaksadaran yang disebut Mayatattwa yang memiliki sifat lupa, tan pajnana, tan pacetana.

Cetana atau Siwatattwa ada tiga tingkatannya yaitu Paramasiwatattwa, Sadasiwatattwa dan Atmikatattwa. Paramasiwa adalah Bhatara Siwa yang dalam keadaan tanpa bentuk yang tidak tersentuh oleh apapun.

Sadasiwa adalah Bhatara Siwa yang sudah mulai tersentuh oleh sarwajna, sarwakaryakarta, cadusakti, dan jnana sakti. Ia disebut Bhatara Adipramana, Bhatara Jagatnatha, Bhatara Karana, Bhatara Parameswara, Bhatara Guru, Bhatara Mahulun, Bhatara Wasawasitwa. Ia berkuasa untuk mengadakan dan meniadakan, tetapi Ia sendiri tidak diciptakan.

Atmikatattwa adalah sadasiwa yang utaprota dalam Mayatattwa (Acetana). Uta artinya Ia berbeda secara gaib dalam Mayatattwa bagaikan api dalam kayu. Prota artinya Ia berkeadaan bagaikan permata bening cemerlang dalam Mayatattwa. Tetapi karena dibungkus oleh warna merah Mayatattwa menyebabkan sifat sarwajna, sarwakaryakarta, cadusakti, jnana saktiNya menjadi hilang, karena itu disebut Atmikatattwa, Atma Wisesa atau Bhatara Dharma yang menjadi roh semua yang ada tanpa pilih kasih bagaikan matahari memberikan sinarnya kepada semua yang ada secara adil.

Karena ada keinginan untuk melihat wastu sakala, maka dipertemukanlah Atma dengan Pradhanatattwa (anak dari Mayatattwa). Atma adalah perwujudan tutur (kesadaran) dan Pradhana perwujudan lupa (ketidaksadaran). Bertemunya tutur dengan lupa disebut Pradhana – Purusa. Pada saat pertmuannya itu melahirkan citta dan guna. Citta lahir dari Purusa. Guna lahir dari Pradhana.

Guna ada tiga perinciannya yaitu : sattwa, rajah dan tamah. Ketiganya disebut Triguna. Guna ini berpengaruh terhadap citta sehingga disebut citta sattwam, cita rajah, dan citta tamah.

Guna sangat berpengaruh terhadap sifat seseorang, sehingga sifat seseorang satu dengan yang lainnya berbeda tergantung pada kadar guna yang ada pada diri seseorang. Bila guna sattwam dominan pada citta akan menimbulkan sifat-sifat yang baik, tahu salah dan benar yang dapat mangantar seseorang pada kamoksan. Bila rajah dominan pada citta akan menimbulkan sifat-sifat yang kurang baik.

Namun apabila rajah bertemu dengan sattwa akan menyebabkan mencapai sorga. Bila sattwam, rajah dan tamah sama-sama dominan menyebabkan terlahirkan sebagai manusia.

Pada saat triguna bertemu dengan citta, maka lahirlah budhi dan dari budhi lahir ahangkara. Ahangkara dibedakan menjadi tiga yaitu : Ahangkara Waikerta, Taijasa, dan Bhutadi.

Ahangkara waikerta mengadakan manah dan dasendriya (pencendriya dan panca karmendriya). Ahangkara bhutadi mengadakan Pancatanmatra. Dari Pancatanmatra lahir Pancamahabhuta. Sedangkan ahangkara taijasa membantu kerja ahangkara waikrta dan bhutadi. Bercampurnya Pancamahabhuta dengan guna melahirkan Andhabhuwana, seperti Saptaloka (alam atas) dan Saptapatala (alam bawah).

Bhatara Siwa menyusupi alam semesta, kemudian dengan kriya saktinya manusia diciptakan. Ketika Atma berhubungan dengan Ahamkara menimbulkan Pancatanmatra, Pancamahabhuta dan manah. Dihubungkannya atma dengan manah menyebabkan atma dibedakan menjadi lima yang disebut dengan Panca Atma.

Seseorang yang ditempati oleh Bhatara Siwa akan memiliki Atma Wisesa. Berbeda dengan binatang, tidak memiliki atma wisesa. Ia hanya memiliki bayu, sabda, tetapi tidak mendapat penyadaran dari atma. Sedangkan bayu, sabda dan idep pada manusia diberikan kesadaran oleh atma dalam kadar yang berbeda-beda tergantung pada subha-asubha karmanya, baik-buruk perbuatannya. Atma yang berbeda di alam jagra dan turya luput dari pengaruh subha-asubha karma. Sedangkan atma yang berada di alam susupta terkena pengaruh subha-asubha karma sehingga harus mengalami proses kelahiran karena selalu diombang-ambingkan oleh pikiran.

Alam turya dan turyanta sulit dijangkau oleh pikiran karena kehalusannya, tetapi dapat ditentukan melalui tri pramana. Alam turyanta hanya dapat dibayangkan dengan agama pramana.

Tubuh manusia dibangun oleh intisari zat makanan yang disebut sadrasa. Pada dasarnya tubuh ini dibangun oleh Pancamahabhuta. Tubuh ini disebut dengan bhuwana alit, alam kecil, yang sebenarnya merupakan tiruan dari bhuwana agung, alam besar. Karena itu, sapta bhuwana, sapta patala, sapta parwata, sapta arnawa, sapta dwipa dalam bhuwana agung, ditemukan pula pada bagian-bagian tubuh manusia. Sungai-sungai dalam bhuwana agung diwujudkan dengan nadi-nadi dalam tubuh manusia yang jumlah-Nya sangat banyak. Dalam tubuh juga terdapat wayu yang merupakan tenaga penggerak tubuh. Dan kesemuannya itu dihidupi oleh atma.

Tubuh ini didiami oleh atma. Bagian-bagian tubuh ini juga didiami oleh dewa-dewa. Brahma menempati hati, Wisnu menempati empedu, Iswara menempati jantung dan sebagainya. Pancaresi, dewaresi, saptaresi, para dewata, gandarwa, pisaca turut pula menempati tubuh ini. Kesemuanya itu turut memberi wama sifat-sifat manusia.

Pradhanatattwa adalah badan atma pada tubuh manusia yang disebut dengan ambek. Sedangkan tubuh itu sendiri disebut angga. Bersatunya angga dengan ambek disebut Anggapradhana. Ambeklah yang menimbulkan suka-duka, baik-buruk. Ambeklah yang menikmati semua obyek keindahan melalui dasendriya. Karena itu dasendriya harus ditarik dari obyeknya dengan mengembalikannya kepada ambek. Ambek dikembalikan kepada pramana. Pramana ke dalam dharma wisesa. Dharma wisesa ke dalam antawisesa. Antawisesa ke dalam anantawisesa.

Untuk mengembalikan kepada anantawisesa, tattwajnana mengajukan Prayogasandhi, dengan tahapan-tahapannya yaitu asana, pranayania, pratyahara, dharana, dhyana, tarka dan Samadhi. Prayogashandi akan dapat dilaksanakan apabila dituntun oleh samyagjnana. Samyagjnana diperoleh melalui tapa, brata, yoga dan Samadhi. Kesemuanya itu akan mempertajam panah prayogasandhi dan mengarahkan pada sasaran secara tepat. Ini akan dapat membebaskan atma dari semua selubung maya, warna-warna Mayatattwa, maka pada saat berpisahnya atma dari Pancamahabhuta, akan kembali kepada sumber asalnya, Bhatara Paramasiwa.

Literatur :
Dunia, Drs. I Wayan. (2009). Kumpulan Ringkasan Lontar, Paramita Surabaya, hal. 6-11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar